Kamis, 20 Desember 2007

Tanggapan untuk Wisnu Widjaja

Tanggapan untuk Wisnu Widjaja

Saya adalah Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Bogor dan Wakil Ketua PPI Jawa Barat periode 2004-2008. Bersama ini saya ingin merespons tulisan Bapak Wisnu Widjaja, yang dimuat di Surat Pembaca Koran Tempo Senin, 6 Agustus 2007.

Berkaitan dengan kejadian yang dilihat, dirasakan, dan didengar Bapak Wisnu dalam pemilihan anggota Paskibra (yang tidak menyebutkan lokasi kejadian), ada beberapa hal yang ingin saya tegaskan.

Pertama, sejatinya Islam dan nasionalisme adalah satu. Nabi Muhammad SAW memberi contoh bagaimana ia membawa bangsa Arab dari bangsa yang terpecah dalam banyak suku menjadi sebuah bangsa yang mampu berkembang dan mampu mempengaruhi peradaban dunia melalui agama Islam. Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, H.O.S Tjokroaminoto, dan H. Agus Salim adalah sebagian contoh dari tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dengan dilatarbelakangi pemahaman mereka bahwa Islam adalah agama yang memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan manusia. Langkah ini masih satu napas dengan nasionalisme, yakni menganggap penjajahan adalah suatu hal yang wajib dihancurkan.

Kedua, sebagai salah satu unsur dalam kemeriahan hari ulang tahun Republik Indonesia, di setiap kabupaten/kota, provinsi, dan pusat di Indonesia setiap tahunnya diselenggarakan upacara untuk memperingatinya. Karena itu, selalu ada pasukan yang khusus dibentuk untuk mengibarkan duplikat bendera pusaka yang dinamai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Pasukan ini berbeda dengan Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera), karena Paskibra bertugas di tingkat sekolah dasar, menengah, dan lanjutan. Sedangkan Paskibraka bertugas atas nama pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Hal ini perlu dipaparkan karena Bapak Wisnu menyebut nama Paskibra. Padahal laporan pandangan mata berkaitan dengan panitia seleksi dan para pelatih (termasuk dari pihak militer) yang terlibat dalam kegiatan tersebut justru lebih mencerminkan proses kegiatan seleksi, pembinaan, dan latihan Paskibraka.

Ketiga, Purna Paskibraka Indonesia amat tidak menghalangi anggotanya yang berasal dari mantan anggota Paskibraka menggunakan jilbab saat mereka melakukan tugasnya. Bahkan kami tidak memberikan imbauan kepada panitia pelaksana setempat untuk lebih memilih anggota yang tidak berjilbab.

Dalam buku Pedoman Organisasi PPI, tertera gambar bentuk pakaian dinas upacara bagi anggota Paskibraka yang menggunakan jilbab. Anggota Paskibraka dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk bertugas di pusat sering kali berjilbab. Begitu pula untuk kami di Jawa Barat (biasanya perwakilan putri dari Kabupaten Cianjur). Di Kota Bogor pun ada anggota kami yang berjilbab saat penugasan.

Karena itu, kepada yang terhormat Bapak Wisnu, dan pembaca Surat Pembaca Koran Tempo yang budiman, secara pribadi dan organisasi, saya sangat menyesalkan dan sekaligus mempertanyakan nasionalisme pihak terkait, bilamana peristiwa yang dialami oleh Bapak Wisnu adalah benar terjadi dalam tahapan seleksi dan pembinaan Paskibraka (di Tegal, Jawa Tengah). Kami berharap kawan-kawan PPI di Jawa Tengah dan/atau Kabupaten Tegal dapat menindaklanjuti hal tersebut.

Terakhir, saya mengucapkan selamat berjuang kepada seluruh rekan-rekan Paskibraka dari Sabang sampai Merauke dalam penugasan tahun ini.

Tidak ada komentar: